Hai ladies.. Karena bulan ini adalah bulan setelah adanya Hari Ibu, tepatnya bulan terakhir yaitu Desember, Aku
akan berbagi beberapa kisah nyata tentang ibu
dan anak perempuannya. Cerita ini dikirim oleh salah satu Sahabat Vemale.
Semoga bisa membuat cinta kalian pada ibu semakin
besar.
***
Ibu, Maafkan Aku Yang Lama Tidak
Menyapamu
Namaku Dewi. Dulu,
ibu memberi nama itu agar aku tumbuh cantik, kuat dan anggun seperti para dewi
di berbagai cerita legenda. Aku menyukai nama itu. Seperti keinginan ibu, aku
tumbuh menjadi perempuan yang kuat, cerdas dan cantik. Setidaknya begitulah
pujian yang sering aku dengar.
Setelah selesai
kuliah, aku memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Ibu kota lebih menawarkan
jenjang karir dan penghasilan yang lebih baik. Dengan nilai akademis yang baik
dan kemauan untuk belajar, tidak sulit mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Aku
diterima bekerja di salah satu kantor yang berhubungan dengan saham.
Kita semua tahu bahwa
bekerja di sektor saham membutuhkan waktu yang sangat banyak. Saya memang
mendapat gaji besar, namun banyak juga yang harus saya korbankan, termasuk
waktu ngobrol bersama ibu via telepon. Di awal bekerja dulu, setidaknya saya
menelepon ibu seminggu sekali. Setelah itu saya semakin sibuk, setiap hari
cepat berlalu, saya tidak pernah menghubungi ibu.
Jika sudah begini,
ibu yang pada akhirnya menelepon saya. Karena badan dan kepala saya seringkali
capek dan butuh istirahat, telepon-telepon itu lebih sering saya abaikan
ketimbang saya angkat. Saya lebih memilih tetap tidur dalam selimut yang hangat
ketimbang mengangkat telepon dari ibu. Saya bahkan sengaja mematikan tombol
panggilan saat ibu menelepon di jam santai.
Waktu itu saya
berpikir, paling-paling ibu hanya akan menanyakan saya sudah makan atau belum.
Saya ini sudah besar, tidak perlu diingatkan makan, saya sudah bisa makan
sendiri. Mungkin karena sudah punya penghasilan sendiri yang cukup besar, saya
angkuh ketika itu. Selama uang yang saya kirim ke ibu tetap lancar, saya merasa
tidak berkewajiban ngobrol dengannya.
Berbulan-bulan saya lalui
dengan kegiatan. Saya tidak tahu bagaimana kabar ibu, ibu pun tidak punya akses
untuk tahu bagaimana kabar saya. Hingga tepat setahun yang lalu, saat Jakarta
dilanda banjir, kondisi tubuh saya drop. Saya demam berhari-hari dan dinyatakan
positif demam berdarah. Karena tinggal
sendiri di Jakarta, saya memutuskan lebih baik dirawat di rumah sakit. Saat
itu, yang saya inginkan hanya ibu. Mungkin inilah titik balik saat saya sadar
betapa tidak terpujinya sikap saya pada ibu. Saat saya sehat, sama sekali tidak
ingat ibu. Ketika terkapar di rumah sakit, kehadiran ibu sangat saya inginkan.
Dengan sedikit malu,
saya menelepon ibu dan mengabarkan bahwa saya dirawat di rumah sakit. Saya bisa
mendengar suara ibu sangat panik di balik telepon. Ibu mengatakan akan ke
Jakarta secepatnya. Namun aku tetap keras kepala agar ibu tidak perlu
menyusulku. Walau merindukan ibu, aku bisa merawat diriku sendiri.
Tapi seorang ibu
tetaplah ibu. Dua hari kemudian ibu sudah ada di samping ranjang tempat tidurku,
datang bersama adikku yang terpaksa bolos kuliah demi menjengukku. Saat itu aku
melihat ibu tidak berjalan seperti biasanya. Kakinya sedikit pincang.
"Ibu jatuh dari
tangga dua minggu yang lalu," ujar adikku dengan sedikit ketus. "Mbak
sih, ditelepon bolak-balik nggak pernah diangkat. Kemarin orang serumah
ngelarang ibu ke Jakarta, tapi katanya ibu khawatir kakak kenapa-kenapa,
padahal kaki ibu masih bengkak,"
"Nggak apa-apa kok, kaki ibu sudah
nggak sesakit kemarin," ujar ibuku. Aku bisa melihat senyum hangat di
bibirnya, senyum yang sudah lama tidak aku lihat.
Entah kenapa, ada
rasa menyesal luar biasa dalam diriku. Dadaku terasa sakit karena mengetahui
kalau sebenarnya kondisi ibu tidak baik, dan aku selama ini tidak peduli
padanya. Aku tidak peduli dengan infus yang masih menempel di pergelangan
tanganku, aku langsung memeluk ibu dan menangis di pelukannya.
"Lho kok kamu nangis?" tanya
ibuku dengan suara bingung.
Ini adalah puncak
penyesalanku, penyesalan yang aku tahu sudah melukai hati ibu. Aku menyesal
sudah mengabaikan ibu berbulan-bulan, aku menyesal tidak pernah menanyakan
kabarnya, bahkan dalam kondisi tidak baik seperti ini, ibu rela jauh-jauh ke
Jakarta naik kereta api. Dan lihatlah aku, anak perempuan kesayangannya yang
tidak tahu terima kasih.
Aku menangis sampai
baju rumah sakit yang aku pakai basah di bagian dada. Berkali-kali aku meminta
maaf. Namun tahukah kalian dengan jawaban ibuku?
"Kamu nggak salah apa-apa,"
Aku semakin merasa
sangat berdosa. Tuhan sudah terlalu baik menitipkanku pada ibu yang hebat,
namun aku menyia-nyiakannya. Jika sakitku adalah sentilan Tuhan, aku berterima
kasih kepada-Nya. Setidaknya aku tahu kesalahanku dan bisa memperbaikinya,
belum ada kata terlambat.
Setelah aku keluar
dari rumah sakit dan kembali bekerja. Aku selalu menyempatkan diri menelepon
ibu, setidaknya lima menit setiap hari. Hanya lima menit setiap 24 jam,
ternyata tidak seberat dugaanku.
Sekarang aku lebih
lega, lebih sehat, dan aku justru senang jika ibu mulai cerewet memintaku makan
teratur. Bukankah itu tanda sayang seorang ibu? Aku tahu kesuksesan ini adalah
buah manis dari doa-doa ibu. Apalah saya jika tidak memiliki seorang ibu yang
hebat.
***
Semoga kisah saya ini bisa menjadi
inspirasi pada kalian. Jika Anda memang sibuk bekerja dan
meniti karir, ingatlah dengan ibu Anda. Jangan berpikir semua kesuksesan ini
hanya hasil usaha Anda, karena dalam setiap langkah Anda, pasti ada doa ibu
yang menuntun Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar